Beberapa hari yang lalu, dunia maya dihebohkan adanya anak yang terpaksa
dirawat di RS Jiwa. Ia mengalami keguncangan jiwa karena menghadapi
tekanan orang tua yang mengharuskannya mengikuti berbagai macam les.
Kalau bertemu dengan orang lain, ia menunjukkan kemampuannya berbahasa
Inggris dan berhitung cepat. Bahkan gadis kecil itu bergaya seperti
gurunya ketika sedang mengajar. Ibunya hanya bisa menangis. Si gadis
kecil berkata polos,"Bunda jangan menangis, aku kan sekarang sudah
pintar. Tapi aku nggak mau tidur sama Bunda ya. Aku maunya bobo sama
Dokter yang ganteng dan cantik saja."
Zaman sekarang banyak sekali orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke lembaga bimbingan belajar atau les.Alasannya untuk mengangkat nilai-nilai anak di sekolah. Mereka hanya memikirkan angka-angka di raport tanpa pernah mempertimbangkan baik-buruknya dari sisi si anak. Seringkali orang tua tak menyadari bahwa mereka telah memaksakan keinginan kepada anak dan membenarkan pemaksaan tersebut dengan argumen semua itu dilakukan untuk masa depan anak.
Inilah alibat sistem pendidikan link and match yang dijalankan semenjak Orde Baru. Keberhasilan anak hanya diukur sebatas nilai akademik, tetapi mengabaikan pendidikan mental. Anak-anak tak ubahnya seperti robot-robot yang diciptakan untuk mengikuti perintah, bukan sebagai individu-individu merdeka yang bebas berkreasi dan berinovasi. Angka-angka di raport menjadi acuan sehingga orang tua memaksa anak untuk mencapai nilai tertinggi agar dibilang anaknya pintar.
Ambisi Orang Tua
Rasa kepemilikan terhadap anak, menjadikan orang tua egois dan merasa berhak memaksakan keinginannya. Orang tua lupa bahwa anak adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Cara menjaga anak, bukanlah dengan mencetak mereka menjadi anak-anak yang sekedar mengejar angka-angka di sekolah, melainkan dengan menjadikan mereka bermental kuat dan menjadi orang yang baik. Ingatlah bahwa anak adalah sosok yang berjiwa dan memiliki karakter masing-masing.
Ambisi orang tua terlalu tinggi. Pertama, karena berorientasi pada keberhasilan secara materi. Kalau anak selalu juara kelas, bersekolah di tempat favorit lalu mendapat gelar sarjana di universitas bergengsi, dan pada akhirnya diharapkan bekerja sebagai profesional yang berpenghasilan tinggi, cepat kaya dan memiliki jabatan terhormat. Kedua, karena orang tua melampiasakan keinginan-keinginannya sendiri yang dahulu tidak tercapai, misalnya ingin menjadi orang terkenal, ingin menjadi jutawan, atau ingin menjadi pejabat. Mereka lalu memaksakan anak-anaknya sesuai dengan ambisi mereka dahulu. Ketiga karena orang tua mengidolakan seorang tokoh atau selebriti dan menginginkan anak-anaknya seperti tokoh tersebut. Dalam hal ini sesungguhnya orang tualah yang pantas diperiksakan kesehatan jiwanya.
Fakta di balik ambisi orang tua sebenarnya adalah pelarian dari ketidakmampuan orang tua dalam mengasuh anak. Misalnya karena kesibukan bekerja, mereka tidak sempat lagi membantu anak-anak belajar dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Jika anak mengalami kesulitan belajar, maka dilimpahkan kepada lembaga Bimbel atau tempat di mana mereka mengikuti les. Selain kesibukan bekerja, orang tua juga enggan meng-up grade kemampuannya dalam pelajaran-pelajaran yang diikuti anak.
Zaman sekarang banyak sekali orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke lembaga bimbingan belajar atau les.Alasannya untuk mengangkat nilai-nilai anak di sekolah. Mereka hanya memikirkan angka-angka di raport tanpa pernah mempertimbangkan baik-buruknya dari sisi si anak. Seringkali orang tua tak menyadari bahwa mereka telah memaksakan keinginan kepada anak dan membenarkan pemaksaan tersebut dengan argumen semua itu dilakukan untuk masa depan anak.
Inilah alibat sistem pendidikan link and match yang dijalankan semenjak Orde Baru. Keberhasilan anak hanya diukur sebatas nilai akademik, tetapi mengabaikan pendidikan mental. Anak-anak tak ubahnya seperti robot-robot yang diciptakan untuk mengikuti perintah, bukan sebagai individu-individu merdeka yang bebas berkreasi dan berinovasi. Angka-angka di raport menjadi acuan sehingga orang tua memaksa anak untuk mencapai nilai tertinggi agar dibilang anaknya pintar.
Ambisi Orang Tua
Rasa kepemilikan terhadap anak, menjadikan orang tua egois dan merasa berhak memaksakan keinginannya. Orang tua lupa bahwa anak adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Cara menjaga anak, bukanlah dengan mencetak mereka menjadi anak-anak yang sekedar mengejar angka-angka di sekolah, melainkan dengan menjadikan mereka bermental kuat dan menjadi orang yang baik. Ingatlah bahwa anak adalah sosok yang berjiwa dan memiliki karakter masing-masing.
Ambisi orang tua terlalu tinggi. Pertama, karena berorientasi pada keberhasilan secara materi. Kalau anak selalu juara kelas, bersekolah di tempat favorit lalu mendapat gelar sarjana di universitas bergengsi, dan pada akhirnya diharapkan bekerja sebagai profesional yang berpenghasilan tinggi, cepat kaya dan memiliki jabatan terhormat. Kedua, karena orang tua melampiasakan keinginan-keinginannya sendiri yang dahulu tidak tercapai, misalnya ingin menjadi orang terkenal, ingin menjadi jutawan, atau ingin menjadi pejabat. Mereka lalu memaksakan anak-anaknya sesuai dengan ambisi mereka dahulu. Ketiga karena orang tua mengidolakan seorang tokoh atau selebriti dan menginginkan anak-anaknya seperti tokoh tersebut. Dalam hal ini sesungguhnya orang tualah yang pantas diperiksakan kesehatan jiwanya.
Fakta di balik ambisi orang tua sebenarnya adalah pelarian dari ketidakmampuan orang tua dalam mengasuh anak. Misalnya karena kesibukan bekerja, mereka tidak sempat lagi membantu anak-anak belajar dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Jika anak mengalami kesulitan belajar, maka dilimpahkan kepada lembaga Bimbel atau tempat di mana mereka mengikuti les. Selain kesibukan bekerja, orang tua juga enggan meng-up grade kemampuannya dalam pelajaran-pelajaran yang diikuti anak.
Berikan Hak Anak Bermain dan Bersosialisasi
Dunia anak adalah dunia bermain. Mereka harus memiliki kebebasan bergaul dengan teman-teman sebaya di lingkungannya. Bermain bersama memberikan stimulan pada anak untuk belajar adaptasi dengan berbagai karakter yang dimiliki teman-temannya. Ia juga belajar beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi Bagaimana cara dia menanggapi suatu masalah dsb. Sosialisasi mendorong anak-anak untuk berperan aktif, melakukan interaksi dengan siapa saja.
Kalau anak-anak dipaksa untuk mengikuti berbagai macam les, bayangkan betapa lelahnya otak mereka. Mereka sudah menghabiskan waktu belajar di sekolah, lalu disambung dengan les ini-itu. Maka sepanjang hari mereka diporsir untuk mempelajari sesuatu. Ketika mereka pulang sudah kelelahan, langsung tidur, tidak sempat bersosialisasi dengan lingkungan, bahkan dengan keluarga sendiri. Jika semua kegiatan itu di luar kemauan si anak, akan timbul pemberontakan. Si anak bisa menunjukkan kenakalan yang tidak biasa, atau jika dipendam akan timbul kasus si anak masuk RS Jiwa.
Orang-orang tua yang telah memiliki kesadaran bahaya dari forsir berlebihan terhadap anak, telah mencari alternatif pendidikan yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak-anak. Misalnya Sekolah Alam dan Home Schooling. Sistem pembelaran di dua jenis sekolah ini memerhatikan kebutuhan jiwa anak-anak, terutama agar mereka tetap memiliki kesempatan untuk bersosialisasi. Dengan demikian kasus di atas dapat dihindari.
Sumber:http://www.kompasiana.com/empuratu/anak-masuk-rs-jiwa-karena-kebanyakan-les_54f3b2f9745513902b6c7ccb
0 Response to "Anak Masuk RS Jiwa karena Kebanyakan Les"
Post a Comment